Thursday, June 25, 2015

Review Europe on Screen 2015

Festival Film Eropa atau disebut sebagai Europe on Screen merupakan acara tahunan yang diadakan beberapa kedutaan besar dan pusat kebudayaan Eropa di Indonesia yang berisi pemutaran film baik indoor maupun outdoor, diskusi seputar film, dan kompetisi film pendek.

Festival ini diadakan dari tanggal 1-10 Mei 2015 di beberapa kota besar di Indonesia, di antaranya Jakarta, Bandung, Denpasar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta. Festival yang telah menginjak angka 15 ini memutar 62 film yang berasal dari 21 negara Eropa. Film yang diputar kebanyakan bukan film dengan ide yang memperhitungkan keinginan pasar, juga tidak disertai biaya promosi yang besar-besaran. Namun kualitas film yang dipilih untuk ikut di dalam festival tidak perlu dipertanyakan lagi. Semuanya bagus dan akan meninggalkan jejak pada penontonnya tidak hanya semalam saja. Sebagian dari film ini akan menghibur, lainnya akan memprovokasi.

Terdapat 6 lokasi indoor dan 3 lokasi outdoor yang digunakan sebagai tempat pemutaran di Jakarta. Lokasi indoornya ada di Epicentrum (khusus pembukaan dan hanya untuk undangan), Erasmus Huis (kedutaan besar Belanda), Goethe Institut (tempat les bahasa Jerman), Institut Francais Indonesia (tempat les bahasa Prancis), London School of Public Relation (LSPR), dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Lokasi outdoor ada di Erasmus Huis, Taman Kodok Menteng, dan Bintaro Jaya Xchange Mall.

Keikutsertaan di festival ini semuanya gratis dan tanpa biaya.

----------

Hal pertama yang saya suka dari Europe on Screen 2015 adalah ikon acaranya!


Ikonnya adalah rainbow cake! Nyumm..!

Bahkan ketika saya mencoba untuk menggoogle konferensi pers pembukaannya, biasanya orang-orang memilih untuk memotong pita atau nasi tumpeng, untuk tahun ini mereka memotong kue dan seperti ikon yang dipakai, mereka memilih rainbow cake. Kreatif sekali yang membuat ikon :D

Seperti biasa, yang jadi halangan saya untuk bisa datang adalah jadwal intensif. Dan mulai tahun ini, jadwal intensif saya jadi semakin penuh. Jam kerja saya saat intensif maksimal bisa dimulai dari jam 07.00 hingga jam 20.00. Tentu saja jadwal itu tidak berlaku setiap hari. Hari libur tetap ada, tetapi karena jadwal yang fleksibel, hari liburnya tidak selalu jatuh di hari Sabtu atau Minggu. Jika jam maksimal tersebut digunakan, total saya bisa mengajar sebanyak 8 sesi, dan percayalah, itu capek parah. 8 sesi artinya 12 jam berdiri dan berbicara. Buat saya yang introvert dan tidak terbiasa untuk berbicara selama itu, saya bisa bertahan paling banyak 6 sesi saja atau 9 jam.

Banyaknya jam mengajar tentulah harus disyukuri, tapi akibatnya adalah saya hanya sempat menghadiri acara EoS sebentar saja. Waktu yang paling sesuai adalah untuk nonton pemutaran paling malam yang dimulai jam 19.30. Namun ketika saya selesai mengajar jam 17.00 atau 18.00, badan rasanya udah capek dan membayangkan macetnya jalan raya, duh rasanya ingin langsung pulang saja.. :'D

Mulai tahun ini EoS memiliki venue baru. Beberapa waktu lalu ada 4 venue yang dekat dari rumah saya, yaitu Erasmus Huis, Goethe Haus, IFI, dan Instituto Italiano di Cultura. Tapi mulai tahun ini IFI yang tadinya berlokasi di Salemba pindah ke Thamrin, dan IIC sudah tidak dipakai lagi. Otomatis venue yang dekat tinggal 2 saja. Erasmus Huis terletak di Kuningan, Jakarta Selatan, yang berarti ke sana sore menjelang malam adalah sama dengan berjibaku bersama orang-orang kantor yang baru mau pulang kerja.

Jadilah saya hanya berhasil menonton 3 film saja tahun ini. Padahal kalau melihat katalognya tuh ngiler pengen nonton semuanya lho huhu. Tahun depan semoga bisa membuat jadwal lebih baik lagi supaya bisa menonton lebih banyak :)

salah satu tiket EoS 2015

Tahun ini saya juga ga kedapetan door prize, huhu. Baru tahu juga kalau mereka mengadakan lomba membuat video berdurasi 3 menit yang dishare di instagram. Tapi saya ga punya instagram jadi ga bisa ikutan lah :'(

----------

Yowis, mari kita beralih ke review film sajah~

---
 
Judul: '71
Waktu: Minggu, 3 Mei 2015, 17.00
Venue: Erasmus Huis
Genre: Action, drama
Rating: 15+
Durasi: 99 menit

Sinopsis:

Tahun 1971, konflik di Irlandia Utara semakin tajam, nyaris menjadi perang saudara. Gary, seorang tentara muda, tidak sengaja ditinggalkan unitnya setelah terjadi kerusuhan di Belfast. Tidak dapat membedakan kawan dengan lawan, Gary harus menyelamatkan diri melalui wilayah musuh. Perjalanan kembali ke markasnya malam itu adalah pengembaraan penuh dengan ketidakpastian, ketakutan, dan putus asa.

Opini:

Saya tidak terbiasa menonton film tentang perang dan kekerasan. Terakhir saya menonton film perang adalah Lone Survivor di tahun 2014. Menonton film '71 membuat perasaan saya tidak nyaman ketika menontonnya, dan itu adalah suatu sinyal yang bagus bagi pembuat filmnya. Latar tempat dan penata busana sangat apik menggambarkan tahun 1971. 

 
Kondisi ketidakpastian mana teman mana lawan benar-benar terasa menegangkan karena Gary sang tentara menerima banyak bantuan di tengah perjalanannya, dan ternyata bantuan itu hanya tipuan musuh yang ingin menangkapnya. Sering saya merasa ingin teriak kepada pemeran utamanya agar tidak terjebak. Overall, film yang sangat menarik untuk orang yang menyukai film perang.

---

 
Judul: The 100 Year Old Man Who Climbed Out The Window and Dissapeared
Waktu: Senin, 4 Mei 2015, 19.30
Venue: Goethe Haus
Genre: Komedi
Rating: 15+
Durasi: 114 menit

Sinopsis:

Ahli dinamit Allan Karlson memutuskan untuk loncat dari jendela tepat di hari ulang tahunnya yang ke 100. Bagi Allan tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai petualangan baru. Namun petualangannya kali ini bukanlah hal yang baru, karena Allan pernah terlibat dalam beberapa kejadian penting di sejarah dunia yang tak pernah terlupakan.

Opini:

Saya rasa ini adalah film terbaik yang saya tonton di EoS tahun ini. Film ini juga menjadi film pembuka EoS dan sudah memenangkan beberapa penghargaan di luar negeri. Film ini diadaptasi dari novel berjudul sama dan saya merasa beruntung bisa menontonnya.

Filmnya penuh dengan unsur komedi. Seluruh penonton berhasil dibuat terbahak. Allan Karlson digambarkan ahli dinamit dan dia diajak berkeliling beberapa negara dan berurusan dengan berbagai orang penting sehubungan dengan keahliannya. Allan juga sempat menjadi agen rahasia pembawa pesan.

Di usia yang ke 100, Allan pergi dengan tak sengaja membawa koper berisi dompet milik seorang penjahat. Geng penjahat mencoba mengejarnya, tapi perjalanan tersebut membawa Allan bertemu teman-teman baru yang bersedia berpetualang bersamanya.

Allan dan koper berisi uang mencoba kabur bersama teman barunya

Lokasi terakhir film ini adalah di Bali sehingga rasanya cocok film ini tayang di Indonesia. Sayangnya film ini tidak tayang di bioskop dalam negeri, karena jika tayang, saya yakin akan banyak menyedot penonton :)

---


Judul:Citizenfour
Waktu: Minggu, 10 Mei 2015, 14.30
Venue: Erasmus Huis
Genre: Dokumenter
Rating: 15+
Durasi: 114 menit

Sinopsis:

Sutradara Laura Poitras menerima email misterius dari "CITIZENFOUR", yang mengaku memiliki bukti tentang program pengawasan ilegal oleh agen keamanan nasional Amerika Serika (NSA) dengan agen intelejensi dunia lainnya. Lima bulan kemudian, Laura bertemu dengan pengirim email ini di Hongkong, yang bernama Edward Snowden, mantan analis NSA yang ingin membongkar kebobrokan program pengawasan ilegal NSA.

Opini:

Pertama kali membaca booklet acara dan mengetahui ada film ini diputar, saya sangat bersemangat untuk menontonnya. Apalagi film Citizenfour ini berhasil menyabet nominasi Oscar 2015 sebagai film dokumenter terbaik. Tapi ketika hadir di sana, saya dan hampir sepertiga dari penonton berhasil tertidur di tengah-tengah film. Beberapa bahkan ada yang memilih untuk keluar terlebih dahulu sebelum filmnya usai. Kenapa bisa begitu?

Film ini berbentuk dokumenter dan banyak sekali adegan percakapan di satu lokasi. Percakapan tersebut cukup panjang dan banyak berkutat di seputar media dan teknologi. Seluruh percakapan tersebut mencakup berbagai pengakuan, bukti dan cara-cara yang dipakai Amerika Serikat agar bisa menyadap informasi. Sayang sekali tidak ada subtitle yang mengikuti percakapan tersebut.

Salah satu adegan yang ada di film yaitu Edward Snowden 
yang sedang diwawancara wartawan The Guardian seputar NSA

Saya sendiri merasa malu karena saya tidak dapat menangkap isi dari film itu dengan baik hanya karena alasan sepele ketiadaan subtitle. Saya merasa film ini sangat menarik, tapi karena monoton, maka banyak yang bosan. Padahal peristiwa ini menurut saya sangat luar biasa bisa terekam dengan baik. Pada tahu kan cerita Edward Snowden dan pembongkaran Wikileaks di tahun 2013? Pengakuan tersebut sempat membuat tegang hubungan diplomatik Amerika Serikat dengan berbagai negara karena diketahui Amerika menyadap komunikasi secara ilegal.

Saya pernah mendengar beberapa kesulitan saat membuat film dokumenter, yaitu terkadang sulit untuk membuat jalan cerita yang jelas dari kisah yang ada dan sulitnya menjaga agar pemain bisa memainkan karakter dengan baik. Alasan yang terakhir muncul karena biasanya pemain film yang direkam bukanlah aktor, tapi orang biasa. Hal tersebut membuat kadang akting mereka terasa tidak terlalu memikat. Tapi Edward Snowden sebagai tokoh utama tampak sangat tenang ketika berbagi cerita pembongkaran rahasia yang ada. 

Edward Snowden yang ganteng dan tenang ketika direkam

Padahal pembongkaran rahasia tersebut membuat dia menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh pemerintah Amerika. Seperti akhir kisah film ini, Edward Snowden kini bermukim di Rusia bersama pacarnya karena Rusia bersedia memberikan suaka padanya.
----------

Well, begitulah review Europe on Screen 2015. Semoga masih bisa bertemu dan menonton film-film menarik lainnya di tahun 2016 :D

= to be continued =

No comments: